Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah
Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu , yang hasilnya
diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan Upacara Tiwah , sehingga
siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya mengetahui dan dapat turut serta.
Setelah diumumkan, siapapun yang ingin bergabung terlebih dahulu harus
menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah salumpuk liau yang akan
diikutsertakan dalam upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah salumpuk liau yang
akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau, barulah ditentukan dengan
pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi “Bakas Tiwah” .
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih
detail dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain menyangkut jumlah
kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah menyatakan
diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah konsumsi, hewan-hewan
yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama memutuskan siapa pelaksana
Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau Balian.
Di samping ditawarkan kebutuhan-kebutuhan upacara Tiwah
sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga salumpuk liau, masih ada
beberapa persyaratan yang wajib harus disediakan oleh pihak keluarga. Salah
satunya, minimal wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk liau.
Upacara diadakan di rumah Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan ditentukan
musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah Bakas
Tiwah.
Hari pertama :
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk
rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya
dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus
dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun,
Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda buat barang-barang
yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar
yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.
Hari kedua :
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan
di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang
masing-masing salumpuk liau. Setelah itu seekor babi dibunuh diambil darahnya
untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di sekitar Sangkaraya Sandung Rahung
dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain warna
kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah
Lampung Matanandau.
Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti
gandang, garantung, kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan.
Namun terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan
digunakan dalam upacara Tiwah dipalas atau disaki dengan darah binatang yang
telah ditentukan.
Pada hari itu pula seorang Penawur mulai melaksanakan tugasnya
menawur untuk menghubungi salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara
Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohon izin kepada para Sangiang, Jata,
Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep. Juga pemberitahuan diberikan kepada
Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan, Patendu, Jakarang
Matanandau.
Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang
Gawing Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang
Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau Lawung Sansulai
Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat dohong Sanaman Mantikei.
Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi Raja. Ketika bendera dinaikkan di
atas sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-laki atau perempuan, tua, muda, berdiri
mengelilingi sangkaraya, dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan menghormati
para Sangiang yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan Salumpuk liau
menuju Lewu Liau.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang
Sangkaraya. Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar
mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak
kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu
beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan
selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh
dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala
kotoran. Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah
Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah tersebut digunakan untuk menyaki dan memalas
semua orang yang berada dalam kampung tersebut, juga memalas batu-batuan,
pangantuhu, minyak sangkalemu, minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang,
karuhei, tatau serta semua peralatan yang digunakan dalam upacara Tiwah itu. Di
samping untuk memalas, darah binatang korban tadi juga dicampur beras, kemudian
dilemparkan ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah mereka yang hadir dalam
upacara. Dengan melempar beras yang telah dicampur darah Rawing Tempun Telun
tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit dan gangguan,
panjang umur dan banyak rezeki.
Hari ke empat
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut
hadir serta aktif berperan serta dalam perayaan Tiwah tersebut namun
kehadirannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Salumpuk liau jadi semakin
bahagia dan gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi,
kakek neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam
perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki
mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil
menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta
lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.
Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang
bernama Tihang Mandera yang maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang
ke kampung tersebut bahwa dalam kampung tersebut sedang berlangsung pesta
Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang
belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta Tiwah, antara lain
belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki di kampung itu. Tidak
mentaati aturan, resiko tanggung sendiri. kemungkinan ditangkap, pada hari itu
pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong kepalanya sebagai pelengkap
upacara Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil
manangking Dohong Nucung Dandang Tingang. Pertama-tama penawur berkomunikasi
dengan semua orang yang telah meninggal dunia untuk memberitahukan bahwa mereka
yang nama-namanya disebut akan diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi
dengan para Sangiang, Jata, untuk memohon perlindungan bagi semua sanak
keluarga salumpuk liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang hadir dalam
upacara tersebut agar dijauhkan dari sakit penyakit serta jauh dari kesusahan
selama terlaksananya upacara Tiwah tersebut.
Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe
dan jin-jin agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi
kematian mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan
sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tumbang Lawang Langit
dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan datangnya musuh yang
berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral tersebut. Setelah itu
burung elang datang dan terbang melayang-layang di diatas tempat upacara Tiwah
berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.
Kemudian pada bangunan Balai Pangun Jandau diletakkan sebuah
gong yang berisi beras kuning, rokok, sirih, maksudnya sebagai parapah bagi
tamu-tamu dan para ahli waris Salumpuk liau yang sedang di-tiwah-kan juga
diikat Sulau Garanuhing.
Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang
Pangcono yaitu “Raja Pali“ Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus
ditaati penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang
dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk menghindari
kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.
Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang diikat
sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan
kampung dimana upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan perkampungan lain yang
tidak sedang mengadakan upacara Tiwah. Sejak hari itu hukum pali mulai
dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk liau. Batas waktu pelaksanaan hukum
pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.
Adapun larangan-larangan itu adalah sebagai berikut :
1. Pali makan rusa – dilarang makan rusa.
2. Pali makan kijang.
3. Pali makan kancil/pelanduk
4. Pali makan kelep dan kura-kura.
5. Pali makan kera.
6. Pali makan Beruk
7. Pali makan Buhis
8. Pali makan Kalawet
9. Pali makan Burung Tingang /Burung Enggang.
10. Pali makan Burung Tanjaku.
11. Pali makan Ahom.
12. Pali makan Mahar.
13. Pali makan Ular.
14. Pali makan Tahatung.
15. Pali makan Angkes.
16. Pali makan buah rimbang.
17. Pali makan daun keladi.
18. Pali makan ujau.
19. Pali makan dawen bajai- daun bajai.
Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan
tumbuh-tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka
yang berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah Jipen ije dan kewajiban
potong babi, darah babi digunakan untuk menyaki mereka yang berkelahi.
Hari keempat :
Kanjan diawali oleh empat orang.
Hari kelima :
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu
jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang
terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan
tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.
Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau
atau sapi diikat di sapundu dan mereka yang hadir mengelilingi sapundu
tersebut, menganjan tanpa henti baik siang maupun malam. Saat itu pula Sandung
dan Pambak tempat menyimpan salumpuk bereng mulai dibuat, yang setelah siap
terlebih dulu dipalas dengan darah kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama
tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu
lalang di kampung tersebut terkena pali dan wajib menyerahkan sesuatu miliknya
berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya. Kemudian Talin
Pali diputuskan.
Sebuah Tajau atau belanga dengan ukuran besar dan mahal
harganya diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya
Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan.
Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu
siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh wajib
memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga menyediakan
binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak
masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabung menganjan mengelilingi hewan-hewan
yang akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk liau
yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi
lagi, bambu dan daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di
dalam bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.
Puncak Upacara
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian
khusus yang memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat
yang hadir untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian
didudukkan diatas Katil Garing dan siap memegang sambang/ ketambung . Posisi
duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang, serta empat orang duduk di
belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian yang artinya buang sial,
maksudnya membuang segala bencana yang mungkin terjadi selama prosesi sakral
berlangsung.
Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla dengan
perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang melaksanakan upacara Tiwah
ialah sifat ksatria, memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang
menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah Lanting Rakit dari
sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat upacara Tiwah dengan membawa
binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, tidak begitu saja
diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji keberaniannya.
Begitu rombongan tamu turun dari lanting rakit yang
ditumpangi, mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang
kayu bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi
pinggang dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang, Bakas
Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan kedatangan
juga nama dan jenis binatang yang dibawa.
Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut
bahkan tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka lakukan.
Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada para
tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di depan mata mereka. Bila
mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah para ksatria yang
memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah, baru kemudian
mereka dipersilahkan bergabung.
Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus
yaitu hari melepaskan segala kesialan kawe rutas matei, pada hari ketujuh
inilah salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan
penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang telah
dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang hadir telah
menganjan siang malam tanpa henti.
Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban,
semua ada aturannya.
Cara pertama :
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas
bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya
disebut pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah
ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara.
Bekas tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan
jantung binatang korban yang telah ditombaknya.
Cara kedua :
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian
ia berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan
lanting rakit dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri
binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak
mendapatkan dada dan jantung binatang yang ditombaknya.
Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya
dilakukan oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak
mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak, kambe,
burung bahotok, burung papau, burung Antang.
Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak
terlihat mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada salumpuk
liau yang sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada
Raja Untung dan para Sangiang. Lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja
Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan kepada Sangumang dan
Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada Bulan, Bintang, Matahari, Patendu,
Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan kembali masyarakat yang hadir
berkumpul.
Tibalah saatnya salumpuk bereng digali/diambil dari tempat
penyimpanan sementara. Tulang belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan pada
hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau pambak atau sandung . Kemudian
pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar. Upacara dianggap selesai
apabila seluruh prosesi upacara telah dilaksanakan lengkap, dengan demikian
keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena telah berhasil melaksanakan tugas
dan kewajibanya kepada orang-orang yang dicintai. Salumpuk liau telah sampai ke
tempat yang dituju yaitu Lewu Liau.
Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan
beristirahat namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan
lagi selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga
dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa syukur dan
terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah hadir
bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan yang ingin
mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka selalu mohon
perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga acara Balian Balaku Untung
yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada Hatalla.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian,
Mahanteran dan Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua
prosesi upacara demi mengantarkan salumpuk liau ke lewu liau, tanda mata
diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara akan
pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang telah turut
hadir dalam upacara Tiwah berbondong-bondong mengantarkan mereka sampai
ketempat yang dituju.
Balian Balaku Untung
Merupakan salah satu upacara adat yang bertujuan meminta
umur panjang, banyak rezeki serta mendapat berkat dari Ranying Hatalla.
Permohonan kepada Hatalla tersebut mereka lakukan dengan perantaraan Rawing
Tempun Telun yang dalam upacara Balian Balaku Untung disebut Mantir Mama Luhing
Bungai.
Dalam upacara ini persyaratan yang lazim disediakan ialah
bawui buku baputi atau babi kerdil yang berwarna putih. Namun boleh juga kerbau
atau sapi. Setelah segala macam persyaratan dan sesajen disiapkan, upacara
segera dimulai. Diawali dengan seorang penawur, yang dengan sarana beras,
menabur-naburkan beras ke segala arah. Dengan perantaraan seorang penawur,
mereka memohon kepada roh beras yang ditawurkannya untuk menyampaikan kepada
Mantir Mama Luhing Bungai agar bersedia turun ke bumi untuk menyampaikan persembahan
mereka kepada Penguasa Alam.
Tidak lupa dengan perantaraan penawur pula mereka memohon
izin kepada salumpuk liau atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia bahwa
di bumi sedang diadakan upacara Balian Balaku Untung. Juga disebutkan alasan
upacara tersebut mereka adakan. Adapun alasannya karena sebagai manusia yang
masih harus melanjutkan hidupnya di Pantai Danum Kalunen, mereka masih
membutuhkan rezeki dan umur panjang.
Setelah roh beras yang ditawurkan naik menuju ke tempat
Mantir Mama Luhing Bungai di Batang Danum Jalayan di langit ketiga yaitu di
negeri Batu Nindan Tarung, pesan dan tujuan dilaksanakannya upacara adat
tersebut disampaikan. Setelah dipahami maksud dan tujuannya, kemudian beberapa
Sangiang mengambil alih tugas tersebut. Sangiang-sangiang itulah yang nantinya
menjadi perantara manusia menuju Tahta Ranying Hatalla.
Para Sangiang yang sering kali terlibat dalam melaksanakan
tugas tersebut, antara lain:
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil
Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk
Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
Sangiang-Sangiang yang bersedia menjadi perantara tersebut
akan langsung turun ke bumi dan memasuki rumah tempat upacara dilaksanakan.
Mereka tidak lama berada di rumah tersebut karena harus segera mengantarkan
korban persembahan serta permohonan manusia ke hadirat Penguasa Alam. Mereka
naik ke atas menuju langit ketujuh dengan melalui empat puluh lapisan embun.
Setelah melewati empat puluh lapisan embun, barulah mereka
mencapai langit pertama, lalu langit kedua dan seterusnya. Setiap langit ada
penjaga pintu gerbang, dan setiap penjaga gerbang berhak pula menerima sesajen
yang khusus telah disiapkan bagi mereka. Apabila sesajen diterima dengan baik,
lalu mereka menukar sesajen tersebut dengan Bulau Untung Panjang . Lalu
mengutus salah seorang dari penjaga pintu gerbang setiap lapisan langit
bergabung dalam rombongan untuk turut serta mengantarkan Bulau Untung Panjang
menuju Tahta Ranying Hatalla.
Dengan demikian setiap melewati lapisan langit, jumlah
rombongan menjadi semakin besar karena dari setiap langit yang dilalui, seorang
sangiang akan turut serta. Dengan demikian setelah mencapai langit keenam,
jumlah rombongan sangiang yang dipimpin oleh Rawing Tempun Telon atau Mantir
Mama Luhing Bungai telah bertambah enam orang. Menjelang pintu ke tujuh, Raja Anging
Langit telah menunggu di depan pintu gerbang langit ke tujuh untuk mengucapkan
salam. Bersama Raja Anging Langit, turut serta Indu Sangumang yang nantinya
akan bertugas mengetuk Pintu Tahta Kerajaan Ranying Hatalla.
Setelah memasuki pintu langit ketujuh, lalu ke Tasik
Malambung Bulau, Tumbang Batang Danum Kamandih Sambang, Gohong Rintuh Kamanjang
Lohing tempat tinggal Tamanang Handut Nyahu dan Kereng Tatambat Kilat Baru
Tumbang Danum Nyarangkukui Nyahu Gohong Nyarabendu Kilat, tempat Raja Sapaitung
Andau. Baru kemudian menuju Bukit Bulau Nalambang Kintan Tumbang Danum Banyahu.
Setelah itu menuju Bukit Tunjung Nyahu Harende Kereng
Sariangkat Kilat. Disinilah Banama Tingang , kendaraan berbentuk perahu yang
mereka tumpangi berhenti. Hanya tiga dari rombongan Sangiang tersebut yang
melanjutkan perjalanannya menuju Tahta Ranying Hatalla.
Mereka adalah :
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
Anggota rombongan lainnya hanya sampai di tempat tersebut
dan harus bersabar menantikan ketiga temannya melanjutkan perjalanan menuju
Tahta Ranying Hatalla. Sambil membawa Bulau Gantung Panjang atau Batun Bulau
Untung yang telah diserahkan oleh para penjaga lapisan langit, ketiganya menuju
ke tempat Raja Sagagaling Langit di Bukit Bagantung Langit, untuk membersihkan
Bulau Batu Untung yang mereka bawa tersebut.
Dari tempat itu mereka pergi lagi menuju Bukit Garinda
Hintan tempat Angui Bungai Tempulengai Tingang, lauk Angin Manjala Buking
Tapang untuk mangarinda Bulau Batu Untung. Setelah itu dengan menumpang Lasang
Nyahu, yaitu sejenis perahu yang melaju cepat, mereka menuju Bukit Hintan
Bagantung Langit tempat kediaman Raja Mintir Langit. Di sana mereka membuka
gedung tujuh tempat Putir Sinta Kameluh ( . . . tidak terbaca, ns).
Lalu Indu Sangumang mengetuk pintu, kemudian masuk dan
menghadap Singgasana Ranying Hatalla. Indu Sangumang memohon berkat bagi Bulau
Batu Untung (. . . tidak terbaca, ns.) setelah berkat diberikan mereka kembali
menuju arah Bukit Tunjung Nyahu, dan di tempat tersebut telah menunggu 40
Mantir Untung yang langsung meletakkan Bulau Batu Untung pada kendarah cinta
kasih yang tak dapat direnggangkan oleh kekuatan apapun jua. Dengan demikian
proses tugas para Sangiang telah selesai dan mereka kembali ke dunia dengan melalui
tujuh lapisan langit, empat puluh lapisan embun, langsung menuju rumah di mana
upacara sedang berlangsung.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada perantara dalam
hal ini balian, maka para Sangiang pamit untuk kembali ke tempat mereka
masing-masing, namun terlebih dahulu mereka menyantap sesajen yang telah
disediakan khusus bagi mereka pada sebuah kamar.
Untuk pengecekan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau
ditolak dengan cara sebagai berikut:
Sebelum upacara dimulai, disediakan rotan yang panjangnya
tujuh depa dan beras tujuh sukat. Panjang rotan benar-benar telah diukur oleh
tukang tawur atau balian, panjangnya tujuh depa dengan disaksikan oleh banyak
orang. Begitu pula beras sebanyak tujuh sukat. Setelah upacara selesai,
diadakan pengecekan ulang. Apabila ukuran rotan menjadi lebih panjang yaitu
lebih dari tujuh depa seperti hasil pengukuran semula, begitu juga jumlah beras
lebih dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka diterima dengan baik.
Permohonan telah dikabulkan. Akan tetapi apabila setelah diukur kembali panjang
rotan kurang dari tujuh depa, begitu pula jumlah beras kurang dari tujuh sukat,
berarti permohonan mereka ditolak.
Manawur Tamparan Munduk Balian Hapan Tiwah
(Bahasa Dayak Ngaju)
Bara solak tamparan munduk balian, palus mimbing behaas
ietuh : Ehem behas, harenjet ganan, hai ganan, belum nantuguh labatang entang
bulau, datuh labate habaring jari hampit riwut manyan Raja. Nyimak saturi
malayu, Hapan juyang bangkang halelan tingang, runting tajahan burung nampasut,
kilau nampasut tingang ije kadadang, nampuras tingkah nampuras bungai ije
kapating, malugaku bitim kilau banama nyandang liara nampilaku balitam, netek
ajung hatalumbang jadri hampalua uluh pantai danum kalunen bara balanai bintan
penyang, nampahanjung luwuk kampungan bunu, bara busi renteng bapampang pulu,
ie babalai sansiri koenjat antang, basali mangkuk sarangiring laut.
Kuntep kamaras, ban penu kaningagang sara dia jaka teburan
garing tabela belum, dia jaka penankekei, bara usuk lisum pananjuri bara wain
tapan, Terai nduan tambekan etuh ijamku enteng nasihku hanyim, nyahungku indum
luang reawei, panati danum kalunen, akan jamban payaruhan tisue luwuk kampungan
bunu, nyahuangku bitim, antang manamuei manajah riak renteng tingang, raja
tabela basandar ranjang.
Nyangkabila balitan kenyui mangaja, mantilung kanaruhan
ringgit, kangatil garantung, Katabelan oleh balai mihing nyapundu runjan anak
Sali nyalung marusuk hintan, nyahuan ie tingang hadurat lunuk, akan pantai danum
kalunen, nyangkabilae tambun nyalentur labehu, akan luwuk kampungan bunu, ije
puna hampang jawah hempeng, palumpang langit busun kenyui juhai hanyi,
panasiran Hawun. Ije mapan batu jadi randung banama namburak karangan jari
talin pambuhui riwut hanya mananteng hanyin, burung lingu kanyumping linga,
ason tandang panangkului enteng uluh lewu danum jalajan, uluh rindang labehu
pali tuntang kare bulau pangajin sambang batu bangkalan banama. Balu indu iring
pinang, uluh lewu danum jalayan, hayak manenteng hanyin katabelan uluh balai
ltuyang katabelan uluh balai suling bulau, katabelan uluh balai entas,katabelan
uluh balai nyaho, telu puluh ruang tuntang katabelan uluh balai Palangka
nambulang tambun, anak salibayung antang, mahutu Penyang, uras nyahuan usang,
hadurut lunuk hayak mandurut papan talawang mahapan tantang burung dahiang,
malentui gentui daren lintung, hapaharis rayung baya tandak, lapik banama antng
manamuei tapeting ayung, kenyui mangja.
Ie jari bitim behas, jadi barakandung peteh, pantai danum
kalunen, entan bulau, batiang janjin, luwuk kampungan bunu, jadi peteh
manyiret. Kilau lanting darai janji manalan. Mampahulang naharantung nyalung,
te kareh tandakm panjang, halawu bumbung dawen purun, karungutm ambu harenda
pandung, bulau tambun , jadi sukup tuntur, kilau bulan bele manyinai nenteng
sukup palakue tingkah pahawang nangkunyahe tatau. Kilat baputi dia kanatah
hintan, hijir bahenda dia nanggalung bulan, tawurku belum baun pingan rungan
etan bulau bahanjung mangkuk saramurung laut, bahing jarambang, nipas marung
garing gantungan, pusuk rawung bambau ukei, hayak enum bandadang, te palus
manjakah behas tuh auch :
Ije, due, telu, epat, lime, jahawen, uju ije kalabien ketun
sintung uju due kalambungan ketun lambung hanya, te palus manekap katambung,
nampara nampulilang liau.
Toh ie auch :
Liiiiii liala – liaang liau matei randang are mananjung
ambun. Saran kuwu bajumbang nihau nambahui rahu nawan bulan, palus teneng
tendur gandang nyaring menteng randah are babalai bungking lunuk, rintuh rinau,
tuwung siakung tatau, basali tanduh babulung bulau, mikeh are bunu baletuk
ngandang andau panurean dare, talawang, batesei manturana pakaluyang bulau, are
timpung jari tampahar harus laut, unduk ampah tanjung ambun buang, bulau balemu
mantap kasalananggalung petak sintel manajung halentur liau, mahapan pahulanger
bulan, tiling petak jajulana kahem pahulanger bulan nyaluluk. Te palus teneng
gandang tambun jete, hapamuntung luang kalang labehu handalem rintuh rinau
tuwung ihing . . . Hatalla baparung rangkang huang danum, sama manetep tuwung
tambun rayung tatau, manipas ulek lawin lanting raja. Mangat sama ela balisang
panjang ije gawang tingang rata ela balakas ambu, dinun due kasambutin antang
awang matei hila ngaju, nasat kabangkang nayu-nayu, hasapau dawen birun bukit,
hatingkap pusuk rahing tarung, awang matei junjun helu, nihau tutuk panambalun
tambun, jadi nyahuangku buli batang danum katimbungan nyahu, gohong santik
malelak bulau, tanjung rahu ngalingkang bulan halaliangku buli sandung garing,
kamalesan karatu lumpung matanandau, bahalap nyapau pisih rarindap langit
kamalipir burung piak liau, hakalusang patung.
Nyamping bulan lembut nyarahan andau pandang, pandang
kaninding saramin sina rarajak saruk suling ringun tingang, kalalambang tambun,
mateiu lunjang lenjut. Kanalantai lamiang kanungket bajihi tambun, bajihi bulau
tarahan tawe-tawe manyamei halampat nyahu nangkuang burung piak liau hatarusan
pantung baya tau mansanam kaban lumpat lawang langit ie gagahan Telun mama
Tambun bunu kandayu lanting jahawen, kanyaki liau Randin tandang, meto rama
batanduk garing, bahalap bajela rohong bakadandang uru jejerupan perun tambun.
Awang matei ,nambit mambahete halaiyangku buli bukit
pasahang braung, kamalesang kereng rohanjang tulang, buli pampang raung, kamelasang
kereng buli hatelangkup rabia, kanarah hanjaliwan matei lunjang lenjut,
kanahintip talampe, tapalumpang limpet.
Bahalap nyaluang, uei ringka, pakur layang antang, nambaji
garing handue uju hansasulang, kabantikan asai menteng ije tawae, jalan liau matei
nabasan dohong, nakaje andau bunu nalanjat pandange , sama netep garing
kapandukae munduk jiret sihung kabahena, kabahena bajanda, ela naharantung
bahing pantung sambang, ela nyampilek bambi hengan lohing belum tumbang
kapanjungan panjung, haring saluhan antang nahuei, bakulas aku muta tingang,
parakanan renteng bantus manela bungai hajanjala tundu-tundu balaku badandang
lantaran tanjung Ambun, jalangku manjurung tawur namuei langit balalu batehan
laberuh luwuk enon, sandung danun dua kapamarau langit, tanduhangku mangkat
entan bulan mangaja lambang bulau bara gantung totok timung tandak, liau matei
sambile mangantau sambung santin karunya bapilu nihau ulang bajambilei, hindai
aku mungkang tandakm, tawur ije halawu bumbung daren purun hindai menjung karungut
etan bulau harende pandung, balau tambun –te palus malik tinai tekap sambang,
te toh iye auch :
Manturan behas te iyoh-iyoh bitim tawur ela tarewen matei
halawu bumbung daren purun, ela sabanen ajung hatilalian hariran etan bulan,
harende pandunge balau tambun, basa tawangku panamparan belum, bara hemben
horan.
Patiana pamalempang bara zaman totok panambalon tambun puna
bitim behaas pantis kambang kabanteran bulau balitam etam bulau tahutun lelak
lumpung matanandau, pantis kambang garing manyangen, ie hajamban teras kayu
engang tingang hatatean lohing kayu anduh nyahu ie halalawu bukit kagantung
gandang harenda kereng nunyang, malangka langit. Palus nangkalume putir Selung
Tamanang ewen ndue Raja Nangking langit, mijen timpung uju hatantilap pahangan hanya
hatalamping, ie palus hajanjuri hanjak, nyahu mangaruntung langit, panatekei
humba kilat malambai ambun kapamalem malentur balitam, totok tambalun tambun
hayak enon haganggupa ie palus kaput biti alem, pain bukit tunjung nyahu lilap,
hanggupa tanda puruk kereng sariangkat kilat halawu. Petak sintel hambalambang
tambun, harenda riang dedet habangkalan garantung. Belum tandah hakaluwah
nyakelang uru jajarupen purun tambun, haring lamabat hambalaun nyampali,
kanarah lintung talawang, ie duam kauju andau, belum nahabulun urung, naring
tingkah singan behau belum runja-runjat ampin bilis manyang mananjak,
pangarawang baun tiwing panjang hari tapu-tapu tingkah sahempun pasang bara
tumbang danum, ie palus mandawen handadue manumbung dinun hatantelu, palus karimahan
soho manggandang bara jalayan bulu, danum nyamuk pasang bara tumbang danum.
Kueh maku leteng kambang nyahun tarung, puna bitim hai kuasam belum, tampan
jata bara huang danum, enon suka nilap batu kilat tinting balitam datuh jema
hamaring, puna selung Hatalla bara lawang labehu langit, ie umbet kanumpuh
bujang, sedang handiwung kesampelau belum, te palus hatarung pulu ngalingkang
pulau, luntur bahandang batinting lima balas.
Akan batang danum ngabuhi bulau burung tumpah bua nyembang
hatuen burung kajajirak laut, palus mandung bitim marantep kilau hendan bulau,
nangkuyang bilatamu nahajib tingkah lanting rabia, te bukum jadi handiwung
pakandung pusue, sawang bapangku anak, pandung malelak bulau, ie umbet bula
katugalam belum sadang bintang patendum hamaring.
Ie rawei banama baongkar puat, ajung jawu dagange handiwung
banbaukei pusu pundung malelak bulau, bauhat rentai nyangkabilan bawak nambuku
tisim, galigir bintang, nambatang suling, ringun tingang, mandawen simbel bulau
bakatantan jari bulau jandau. Ie mangambang bulau, taparuyang rayuh, malelak
hintan tapang rundang rundai babehat babatu pating, bateras nyalung Kaharingan
belum. Baluhing gohong, paninting aseng, ie rawei awang hatue kamampan bunu
nantaulah anju tanjuren teken.
Hababiyan karayan tantanjuk rangkan , bapa manambang bitim
kilau manambang banana manungkah laut, manangkep balitam, ruwan manangkep ajung
hatatean hareran.
Ie palus rawei masak manalajan pating ripu mangantien tundu
palus nangkung nangkuluk gentu nanpung penyang. Nundun balitam tingkah nundum
paturung, ie lentu-lentu oleh tingang tempun hemben horan naji-najing antang
sangiang totok tambalun tambun palus nagaggre gangguranan arae, nasuwa sebutan
bitim, ie parei, tangkenya mampan baun tiowong panjang parei karumis mampan
jalan, parei tanjujik helang uhat
sumber bimbingan.org