Salah satu kekayaan budaya di
Indonesia adalah kerajinan getah kayu nyatu yang berasal dari pohon kayu nyatu.
Pohon nyatu sendiri merupakan tanaman eksotis Kalimantan Tengah yang hanya tumbuh
di dua wilayah tertentu di provinsi tersebut, yaitu di Kabupaten Pangkalan Bun
dan di Kecamatan Bukit Tangkiling, Kota Palangkaraya. Getah kayu nyatu selama
ini dimanfaatkan oleh masyarakat adat suku Dayak di wilayah tersebut sebagai
bahan baku untuk pembuatan kerajinan khas suku Dayak, seperti berbagai bentuk
perayu, patung masyarakat adat suku Dayak dan berbagai bentuk kerajinan
lainnya. Kini kerajinan getah nyatu telah menjadi salah satu ciri khas provinsi
Kalimantan Tengah yang dikembangkan oleh masyarakat dengan dukungan Pemda
setempat menjadi barang souvenir yang sangat unik dan menarik dari wilayah
tersebut. Sejumlah kelompok usaha masyarakat adat suku Dayak setempat kini
mengusahakan kerajinan kayu nyatu tersebut dan telah berkembang menjadi salah
satu sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi perkembangan ekonomi daerah. Salah
seorang pengusaha kerajinan getah nyatu dari Palangkaraya yang sudah berhasil
mengembangkan kerajinan tersebut menjadi salah satu produk kerajinan yang cukup
dikenal masyarakat di tanah air hingga mancanegara adalah Katutu Tulus Galing
dengan kelompok usahanya yang diberi nama Kahayan Jawed (Kahayan diambil dari
nama salah satu sungai di Kalteng, yaitu sungai Kahayan, sedangkan Jawed dalam
bahasa Indonesia berarti anyaman). Menurut Katutu, pohon nyatu selama ini hanya
ditemukan tumbuh di areal berawa di Kabupaten Pangkalan Bun dan di Kecamatan
Bukit Tangkiling, Kalimantan Tengah. Tanaman yang memiliki pertumbuhan relatif
cepat tersebut selama ini tidak ditemukan di wilayah lain di Indonesia. Dalam
kurun waktu hanya enam bulan tanaman nyatu bisa tumbuh hingga mencapai 8 meter.
Umur enam bulan tersebut biasanya menjadi patokan bagi para perajin getah kayu
nyatu untuk memanen pohon dengan cara mengambil getahnya. Dalam proses untuk
mendapatkan getah, kata Katutu, para perajin getah nyatu biasanya menebang
pohon nyatu. Kemudian batang pohon nyatu di kuliti untuk diambil bagian
kulitnya. Selanjutnya, kulit kayu nyatu itu direbus di dalam air mendidih yang
sebelumnya telah dicampur dengan minyak tanah. Proses perebusan tersebut
dilakukan untuk memisahkan (mengekstrak) getah dari kulit kayu nyatu. Dalam
keadaan air rebusan yang masih mendidih, getah pohon nyatu yang sudah terpisah
dari kulit pohon itu kemudian diambil untuk selanjutnya direbus kembali untuk
memisahkan getah dari sisa-sisa minyak tanah. Getah pohon nyatu yang sudah
terpisah dari minyak tanah itu kemudian dipilah-pilah untuk proses pewarnaan.
Untuk memberikan warna warni pada getah, Katutu dan para perajin getah nyatu di
Kalteng biasanya menggunakan bahan pewarna alami yang diambil dari tanaman asli
di Kalteng. Proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus getah nyatu itu
bersama-sama dengan bahan tanaman sumber pewarnaan alam. Biasanya pewarna alami
yang dipakai terdiri dari empat jenis warna, yaitu hitam, kuning, merah dan
hijau. Getah nyatu yang sudah diberi bahan pewarna alam itu kemudian diambil
dan dalam keadaan masih panas (dalam rebusan air mendidih) langsung dibentuk
dan dianyam menjadi berbagai bentuk kerajinan getah nyatu. Proses pembentukan
getah nyatu harus dilakukan dalam keadaan masih panas karena dalam kondisi
tersebut getah nyatu masih dalam keadaan meleleh sehingga mudah dibentuk.
Sedangkan kalau sudah dingin, getah nyatu sulit dibentuk karena sudah berada
dalam keadaan beku. Menurut Katutu, kerajinan anyaman getah nyatu umumnya
mengambil bentuk perahu tradisional Dayak yang dilengkapi dengan awak dan
berbagai asesorisnya. Bentuk perahu tersebut menggambarkan cerita tersendiri
yang diambil dari cerita asli masyarakat suku Dayak di Kalteng. Sebagaimana
diketahui di Kalteng sendiri terdapat sejumlah suku Dayak, diantara-nya Dayak
Manyan, Kapuas, Bakumpai, Katingan, Kahayan dan Siak atau Ngaju. Bentuk perahu
yang biasanya dipergunakan dalam kerajinan anyaman getah nyatu umumnya
dicirikan dengan bentuk kepala naga dan kepala burung antang (elang) yang
terletak di bagian depan perahu. Perahu yang mengambil bentuk kepala naga
biasanya dipakai untuk menunjukkan perahu perang dan perahu untuk upacara adat
Tiwah (memindahkan kepala leluhur dalam agama Hindu Kaharingan), namun bentuk
kepala naga pada perahu perang dan perahu untuk upacara adat Tiwah sedikit
berbeda. Sementara perahu yang mengambil bentuk kepala elang biasanya
menggambarkan perahu berburu. Perahu perang berkepala naga juga memiliki posisi
kepala naga yang berbeda. Posisi kepala naga yang mendongak ke atas
menggambarkan bahwa perahu tersebut telah berhasil memenangkan peperangan.
Posisi kepala naga lurus menggambarkan perahu sedang menuju ke arah peperangan.
Sedangkan posisi kepala naga menunduk ke bawah menggambarkan perahu sedang
dalam perang. Selama ini Katutu memproduksi kerajinan anyaman getah nyatu hanya
berdasarkan pesanan. Namun demikian setiap bulannya Katutu tidak pernah sepi
dari pesanan. Rata-rata setiap bulannya Katutu bersama kelompok usaha
kerajinannya yang terdiri dari 12 orang sanak keluarganya mampu memproduksi
200-300 unit kerajinan anyaman nyatu berbagai ukuran. Katutu biasanya menjual
kerajinan anyaman getah nyatu itu dengan harga yang bervariasi tergantung
kepada ukuran dan bentuk/model kerajinannya. Harga kerajinan anyaman getah nyatu
itu berkisar mulai dari Rp 60.000 hingga jutaan rupiah per unitnya. Untuk
melindungi kerajinan anyaman getah nyatu dari klaim illegal atau pemalsuan dan
penjiplakan, pada bulan November 2007 lalu Katutu yang dibantu oleh Gubernur
Kalteng Teras Narang telah berhasil mendaftarkan hak patennya kepada ke Ditjen
HKI Departemen Hukum dan HAM di Jakarta.
Sumber : Majalah Kina (No.1-2008) Departemen Perindustrian
RI
No comments:
Post a Comment