Monday, November 11, 2013

RUMAH BETANG, RUMAH ADAT DAN BUDAYA DAYAK YANG HAMPIR TERSINGKIRKAN

Terinspirasi dan bersumber dari buku “Pergulatan Identitas Dayak Dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut” Penerbit Galangpress, April 2006.

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.
Tetapi pada masa sekarang pun banyak orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial Belanda waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah persatuan dan kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak mengenal benar orang Dayak. Sebagai contoh, tulisan karya orang Belanda bernama J. Lameijn yang berjudul Matahari Terbit, dimana tulisan tersebut sangat merendahkan martabat masyarakat Dayak. Bagian tulisan itu sebagai berikut.
“ …. Setelah habis percakapan itu, cukuplah pengetahuan saya tentang orang Dayak. Sebelum itu saya sudah tahu, bahwa orang Dayak itu amat kasar dan biadab tabiatnya. Kalau tiada terpaksa, tiadalah saja berani berjalan sendiri ditanahnya, karena tentulah saja akan kembali tiada berkepala lagi”.

Citra buruk masyarakat Dayak di perparah lagi dengan timbulnya kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan yang di ekspos besar-besaran hingga keluar negeri (terutama melalui media internet) tanpa memandang sebab sebenarnya dari kerusuhan tersebut hanya memandang berdasarkan pembantaian massal yang terjadi, seperti kerusuhan di Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit dan Palangkaraya). Saya sendiri berada di kota Sampit saat kerusuhan pertama kali pecah tanggal 18 Februari 2001 dan 2 hari kemudian saya berada di Palangkaraya, saat itu saya masih kelas 3 SMP. Berdasarkan pandangan saya atas kerusuhan etnis di Sampit dan Palangkaraya, dimana disini saya tidak berpihak pada suku manapun tapi saya lebih melihat berdasarkan fakta yang ada di lapangan selama saya tinggal di Sampit dari saya kecil hingga saat pecahnya konflik Sampit. Kerusuhan tersebut bukanlah akibat adanya tokoh-tokoh intelektual yang ingin mengacaukan keadaan atau perasaan cemburu suku Dayak karena etnis tertentu lebih berhasil dalam mencari nafkah di Kalimantan, tetapi lebih kepada terlukanya perasaan masyarakat Dayak yang dipendam selama bertahun-tahun akibat tidak di hargainya budaya Betang yang mereka miliki oleh etnis tertentu, hingga perihnya luka tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh masyarakat Dayak dan akhirnya mengakibatkan pecahnya konflik berdarah tersebut. Seharusnya etnis tertentu tersebut lebih memahami pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bukannya bersikap arogan dan ingin menang sendiri serta tidak menghargai budaya lokal (budaya rumah Betang yang menjunjung nilai kebersamaan, persamaan hak, saling menghormati, dan tenggang rasa ). Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya terdapat sebuah rumah Betang yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang tidak dihuni. Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang (termasuk saya sendiri). Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah Betang hanya tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan ketertinggalan dari gaya hidup modern. Dan sekarang, dalam menghadapi kehidupan modern yang sangat individualis, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, materi dan penuh kemunafikan, masihkan budaya rumah Betang menjadi tatanan hidup bersama di Kalimantan ataukah budaya ini akan ikut menghilang seperti menghilangnya bangunan rumah Betang di Kalimantan. Apapun jawabannya hanya kita orang Kalimantan yang dapat menentukannya !

sumber: Fazz.wordpress.com

No comments:

Post a Comment