Terinspirasi dan bersumber dari buku “Pergulatan Identitas
Dayak Dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut” Penerbit Galangpress, April
2006.
Rumah Betang adalah rumah adat
khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di
daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana
sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan
berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana
ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan
aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan
menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun
maupun ternak).
Bentuk dan besar rumah Betang ini
bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter
dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung
dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah
Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim
penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa
unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari
besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga
(keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang
besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki
rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas
perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan
tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat
tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial
kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan
dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap
kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur
melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama,
baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi
tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di
rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang
menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini
kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan.
Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.
Tetapi pada masa sekarang pun
banyak orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak
adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini
merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial Belanda
waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah persatuan dan
kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung
tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut masih dianggap benar sampai
sekarang oleh mereka yang tidak mengenal benar orang Dayak. Sebagai contoh,
tulisan karya orang Belanda bernama J. Lameijn yang berjudul Matahari Terbit,
dimana tulisan tersebut sangat merendahkan martabat masyarakat Dayak. Bagian
tulisan itu sebagai berikut.
“ …. Setelah habis percakapan
itu, cukuplah pengetahuan saya tentang orang Dayak. Sebelum itu saya sudah
tahu, bahwa orang Dayak itu amat kasar dan biadab tabiatnya. Kalau tiada
terpaksa, tiadalah saja berani berjalan sendiri ditanahnya, karena tentulah saja
akan kembali tiada berkepala lagi”.
Citra buruk masyarakat Dayak di
perparah lagi dengan timbulnya kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi di
Kalimantan yang di ekspos besar-besaran hingga keluar negeri (terutama melalui
media internet) tanpa memandang sebab sebenarnya dari kerusuhan tersebut hanya
memandang berdasarkan pembantaian massal yang terjadi, seperti kerusuhan di
Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit dan Palangkaraya). Saya
sendiri berada di kota Sampit saat kerusuhan pertama kali pecah tanggal 18
Februari 2001 dan 2 hari kemudian saya berada di Palangkaraya, saat itu saya
masih kelas 3 SMP. Berdasarkan pandangan saya atas kerusuhan etnis di Sampit
dan Palangkaraya, dimana disini saya tidak berpihak pada suku manapun tapi saya
lebih melihat berdasarkan fakta yang ada di lapangan selama saya tinggal di
Sampit dari saya kecil hingga saat pecahnya konflik Sampit. Kerusuhan tersebut
bukanlah akibat adanya tokoh-tokoh intelektual yang ingin mengacaukan keadaan
atau perasaan cemburu suku Dayak karena etnis tertentu lebih berhasil dalam
mencari nafkah di Kalimantan, tetapi lebih kepada terlukanya perasaan
masyarakat Dayak yang dipendam selama bertahun-tahun akibat tidak di hargainya
budaya Betang yang mereka miliki oleh etnis tertentu, hingga perihnya luka
tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh masyarakat Dayak dan akhirnya
mengakibatkan pecahnya konflik berdarah tersebut. Seharusnya etnis tertentu
tersebut lebih memahami pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung”, bukannya bersikap arogan dan ingin menang sendiri serta tidak
menghargai budaya lokal (budaya rumah Betang yang menjunjung nilai kebersamaan,
persamaan hak, saling menghormati, dan tenggang rasa ). Kini, rumah betang yang
menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalaupun
masih bisa ditemukan penghuninya tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama,
tempat keluarga bernaung, tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah
Betang tinggal menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa
tempat yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para
wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya terdapat sebuah rumah Betang
yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai monumen yang
tidak dihuni. Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan
dibesarkan di rumah Betang (termasuk saya sendiri). Rumah Betang konon hanya
bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis
lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah Betang
hanya tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan
ketertinggalan dari gaya hidup modern. Dan sekarang, dalam menghadapi kehidupan
modern yang sangat individualis, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi,
materi dan penuh kemunafikan, masihkan budaya rumah Betang menjadi tatanan
hidup bersama di Kalimantan ataukah budaya ini akan ikut menghilang seperti
menghilangnya bangunan rumah Betang di Kalimantan. Apapun jawabannya hanya kita
orang Kalimantan yang dapat menentukannya !
sumber: Fazz.wordpress.com
No comments:
Post a Comment