Danau Malawen
adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah,
Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau
yang di tepiannya terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah
aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi
peristiwa yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah
yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam
cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
* * *
Alkisah, di tepi
sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri
miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan
mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai
seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang
buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir
setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian
tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu
malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam
itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua. “Jika kalian
menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk
bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu. Baru saja sang Istri akan
menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya,
sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya. “Bang!
Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri. “Entahlah, Dik! Tapi,
barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang
Suami. ‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan
petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya. “Iya, Istriku! Kita harus
mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,”
jawab suaminya.
Keesokan harinya,
usai menyiapkan bekal seadanya,sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah
hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah
mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah
gubuk kecil untuk tempat bertapa. Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri
itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata
dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu
mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk.
Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan
hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun
mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji
kesabaran mereka. Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah
tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah,
seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.“Hentikanlah
pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan
mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu. Mendengar seruan itu,
sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya
mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat
lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan
berharap usaha mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Sesampainya
di rumah, suami-istri itu kembali
melakukan
pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui
hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan
kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa
seluruh badannya tidak enak. “Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku
mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh. “Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu
adalah tanda- tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri. “Benarkah
itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini
ia mengalami masa kehamilan. “Benar, Istriku!” jawab sang Suami. Sejak saat
itu, sang Istri selalu ingin makan buah- buahan yang kecut dan makanan yang
pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami
bahwa istrinya benar-benar sedang hamil. “Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang
Suami. Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap
perut sang Istri. “Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah
baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami. Waktu terus
berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang
Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang
Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak
yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat
dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang. Ketika Kumbang
Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya
petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan
selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi. wahai anak
dengarlah petuah, kini dirimu lah besar panjang umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang umpama ulat lah mengenal daun umpama serai sudah
berumpun banyak amat belum kau dapat banyak penganyar belum kau dengar banyak
petunjuk belum kau sauk banyak kaji belum terisi maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah supaya tidak tersalah langkah supaya tidak
terlanjur lidah pakai olehmu adat merantau di mana bumi dipijak, di sana langit
dijunjung di mana air disauk di sana ranting dipatah di mana badan berlabuh,di
sana adat dipatuh apalah adat orang menumpang: berkata jangan sebarang-barang berbuat
jangan main belakang adat istiadat lembaga dituang dalam bergaul tenggang
menenggang Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu.
Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan
sumpit. Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda
yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak
yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin
buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan. Pada suatu
hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan. “Maafkan
Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah
sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan. “Benar, Anakku! Kalau
pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut
sang Ibu. “O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan.
Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil
memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung. Kumbang Banaung pun
mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala
keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia
pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga
mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa
membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan
menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam
hutan dan tersesat di dalamnya. Ketika mencari jalan keluar dari hutan,
ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak
sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut
sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk
mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa.
Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik
menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang
gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah
Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun
melihat kecantikan wajah si Intan. “Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang
Banaung dalam hati penuh takjub. Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung
pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke
rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.“Kamu
dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu
kedatangannya. Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah
hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke
Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung
tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan. Keesokan
harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke
hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si
Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah
dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun
tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan
itu di dalam hati masing-masing.Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke
Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi
dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang
Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa,
Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh
karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan
pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu. Pada suatu
hari, Kumbang Banaung mengungkapkan
perasaannya
kepada Intan.“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang
Banaung. Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti
oleh perasaan bimbang. Di satu sisi,ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di
sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan.Ia sebenarnya
tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga
orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa
menerimanya.“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.“Ada apa Intan?
Katakanlah!” desak Kumbang Banaung. Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang
Banaung, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga
mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui
keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan
niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan. “Kita ini orang
miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah. “Benar
kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran
kita,” sahut ibunya.“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi
istriku,” tukas Kumbang Banaung. “Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti
kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!”
perintah ayahnya. Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua
orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya.
Pada suatu malam,suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk
menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari. “Intan, bagaimana kalau kita
kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung.“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau
menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.Setelah melihat
keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan
desa itu. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga
yang sedang meronda melihat mereka.“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan
Intan,” kata salah seorang warga.“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa
lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya. Menyadari niatnya diketahui oleh
warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.“Ayo, kita kejar
mereka!” seru seorang warga. Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat
langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka
tidak dapat menyeberang. “Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti
akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah. Dalam keadaan
panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya.
Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai.
Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki
piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa
selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang
semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan
deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh
dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang
mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun
menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau
Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih.
Konon,sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari- hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua. Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehatmerupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu: kalau sifat keras kepala, di situlah tempat beroleh bala kalau bapa ibu engkau sanggah, Tuhan murka, orang pun menyunggah..