Wednesday, October 30, 2013

Burung Enggang Simbol Suku Dayak

Burung Enggang
Burung Enggang atau Burung Rangkong (bahasa Inggris: Hornbill) adalah sejenis burung yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran. Biasanya paruhnya itu berwarna terang. Nama ilmiahnya "Buceros" merujuk pada bentuk paruh, dan memiliki arti "tanduk sapi" dalam Bahasa Yunani. Burung Enggang tergolong dalam kelompok Bucerotidae yang termasuk 57 spesies. Sembilan spesies daripadanya berasal endemik di bagian selatan Afrika. Makanannya terutama buah-buahan juga kadal, kelelawar, tikus, ular dan berbagai jenis serangga. (SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Enggang)

Enggang (Allo, Ruai/Arue sebutan bagi orang dayak) adalah jenis burung yang ada di pulau Borneo. Burung enggang memiliki ukuran tubuh cukup besar, yaitu sekitar 100 cm. Ada sekitar 8 jenis burung enggang dengan warna tubuh perpaduan antara hitam dan putih, sedangkan warna paruhnya merupakan perpaduan warna kuning, jingga dan merah. Ciri khas dari burung ini adalah adanya cula paruh (casque) yang tumbuh di atas paruhnya. Burung yang makanannya buah ara ini mempunyai tingkah laku bersarang yang khusus. Burung enggang mempunyai kebiasaan hidup berpasang-pasangan dan cara bertelurnya merupakan suatu daya tarik tersendiri.Pada awal masa bertelur burung jantan membuat lubang yang terletak tinggi pada batang pohon untuk tempat bersarang dan bertelurnya burung betina.kemudian burung jantan memberi makan burung betinanya melalui sebuah lubang kecil selama masa inkubasi, dan berlanjut sampai anak mereka tumbuh menjadi burung muda. Mengapa burung Enggang ini di jadikan sebagai simbol oleh suku dayak? Burung ini menyimbolkan suku dayak layaknya burung Merpati menyimbolkan kesucian dan keabadian dalam keagamaan Kristiani. Karena itu pula, burung enggang ini dijadikan sebagai contoh kehidupan bagi orang dayak untuk bermasyarakat agar selalu mencintai dan mengasihi pasangan hidupnya dan mengasuh anak mereka hingga menjadi seorang dayak yang mandiri dan dewasa. Namun sekarang ini burung enggang merupakan burung langka yang sudah sangat sulit di temui di hutan borneo, ini dikarenakan pengerusakan hutan borneo yang terus-menerus terjadi, seperti penebangan hutan baik illegal logging maupun untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Nasib burung enggang ini sekarang sama seperti nasib suku Dayak di borneo yang semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri. Sekarang burung ini hanya sebagai simbol dan hanya dapat dilihat dalam suatu rekaman gambar yang menunjukkan masa kejayaannya dimasa lampau. Burung ini hanya dapat dilihat sebagai simbol yang dilukiskan berupa motif seperti pada gambar ini. Kasihan sekali nasib mereka. Sebagian yang tersisa darinya hanya sebuah gambar dan segelintir bagian paruh dan bulu yang tetap di simpan rapi oleh masyarakat suku dayak

Simbol Tradisi Suku Dayak

3461f602bc
Tato merupakan sesuatu yang sudah sangat familiar dalam masyarakat. Bagi sebagian orang, tato amatlah lekat hubungannya dengan budaya sub urban yang kian lama sudah menjadi lifestyle kaum kota. Meskipun dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu, saat ini dunia tato semakin berkembang dengan semakin banyaknya jasa tato terutama di kota-kota besar. Selain sebagai lifestyle, tato juga sebagai simbol independensi dan kebebasan seseorang dalam hidup.
Namun di Indonesia, terutama bagi Suku Dayak Tato adalah sesuatu yang lebih dari sekedar lifestyle. Suku Dayak memang benar-benar serius memandang tato. Tato merupakan bagian dari tradisi religi, status sosial seseorang dalam masyarakat atau penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. oleh karenanya ada  aturan tertentu dalam pembuatan tato baik dari pilihan gambar, struktur sosial, hingga peletakan tato itu sendiri.
Meski demikian, dalam tradisi Suku Dayak tato secara umum memiliki makna sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang yang dipercaya menuju ke alam keabadian setelah kematian. Karena sakralnya pembuatan tato, setiap suku memiliki aturan yang berbeda dalam membuat tato, meskipun tidak semua suku juga mengenal tradisi ini seperti suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan.
Setiap tato memiliki arti dan makna tersendiri. Misalnya untuk tato disekitar jari tangan menunjukan orang tersebut adalah ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, maka menunjukan orang tersebut semakin banyak menolong dan ahli dalam pengobatan. Lain cerita dengan suku Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato pada seseorang menandakan orang tersebut sudah sering mengembara.
Berbeda pula tato yang diberikan oleh para bangsawan. Biasanya untuk kalangan ini motif tato yang digunakan adalah burung enggang yang merupakan burung keramat masyarakat Dayak. Selain motifnya terpilih, tato pada masyarakat bangsawan lebih detail dan halus. Tato juga dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Bila kaum laki-laki penggunaan tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada kaum perempuan pembuatan tato lebih dikaitkan dengan hal religius.
Secara umum pembuatan tato suku Dayak menggunakan teknik yang masih tradisional. Alat yang digunakan adalah duri buah jeruk yang panjang. Meskipun saat ini sudah dapat ditemui pembuatan tato dengan menggunakan jarum.  Bahan tato sendiri menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Oleh karenanya hasil yang didapat pun hanya berwarna hitam.

Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bagi masyarakat Dayak tato memang bukan sekedar hiasan melainkan sebuah simbol yang memiliki arti dan makna tersendiri. Lebih dari itu, tato juga sebagai simbol dan sebuah karya yang diturunkan dari leluhur untuk masyarakat Suku Dayak. Selain itu, tato yang ada di Suku Dayak juga sebagai bentuk karya yang menambah keragaman budaya dan tradisi bangsa Indonesia.

Manyadiri , KALIMANTAN TENGAH

Manyadiri atau Nyadiri, adalah suatu model upaya preventif dan kuratif yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah agar keluarganya terhindar dari sial kawe (mara bahaya). Bahkan melalui ritual Nyadiri diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit yang mengancam kelangsungan kehidupan keluarga.
Menurut sejarahnya, ritual Manyadiri ini semula didapat dari sebuah mimpi seorang yang bernama Antang Pitih dan indang (bahasa Dayak halus untuk 'ibu'). Ia hidup dengan keadaan yang amat miskin. Persoalan kemiskinan inilah yang selalu dikeluhkan oleh Antang Pitih, dia bertanya kepada Ranying Hatala Langit (Tuhan) kenapa kehidupan keluarganya tidak seberuntung keluarga lainnya. Oleh sebab itu Antang Pitih bermohon dan minta pertolongan Ranying Hatala Langit agar diberi suatu talenta yang dapat digunakan memperbaiki kehidupan keluarganya menjadi lebih baik dan terhormat di lingkungan masyarakatnya pada waktu itu.
Segala keluhan dan permohonan Antang Pitih didengar oleh Ranying Hatala Langit. Akhirnya Antang Pitih diberi talenta melalui mimpi, apapun yang dimimpikan Antang Pitih selagi tidur, maka esok harinya akan menjadi kenyataan. Selama 7 tahun, 7 bulan dan 7 hari, selama itulah mimpi Antang Pintih selalu menjadi kenyataan. Bila Antang Pitih bermimpi mendapat ikan yang banyak maka esok harinya ketika Antang Pitih mencari ikan maka ia memperoleh ikan yang banyak. Pokoknya sejak diberi talenta Tamat Mimpi oleh Ranying Hatala Langit, kehidupan Antang Pitih dan indang-nya serba berkecukupan malah berlebihan. Begitu pula proses Manyadiri ini juga didapat dari mimpi Antang Pitih. Hingga sampai sekarang masyarakat Dayak masih mempercayainya

Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju

Bagi suku Dayak Ngaju antara ritual dan gejala-gejala alam disekitar memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Hal ini terlihat jelas sekali, apabila terjadi ketidakseimbangan alam, maka oleh suku Dayak Ngaju akan dilaksanakan ritual. Selain itu pula, suku Dayak Ngaju meyakini bahwa mimpi pada malam hari memiliki makna atau arti khusus. Misalnya, mimpi menggunakan pakaian putih berarti tidak lama lagi akan mendapat sakit keras, mimpi dikejar sapi/kerbau berarti akan dikejar oleh sakit/penyakit, mimpi bertemu orang yang telah meninggal dan diajak berjalan-jalan ke tempat yang jauh atau ke tempat dunia orang mati, maka diyakini bahwa orang tersebut akan sakit dan rohnya tersesat, karena dibawa oleh orang yang mati ke dunia orang mati. Untuk menghindari hal-hal tersebut, maka dalam kehidupan suku Dayak Ngaju akan dilaksanakan ritual Nyadiri. Ritual Nyadiri dalam kehidupan suku Dayak Ngaju ternyata dalam tataran prakteknya tidak hanya dilakukan oleh orang yang beragama Kaharingan, tetapi juga dilaksanakan oleh orang yang beragama Kristen. Kenyataan yang demikian, tentunya merupakan sebuah kenyataan yang aneh. Dengan memberangkatkan dari kenyataan yang demikian, maka melalui tulisan inilah, kenyataan tersebut coba diangkat, dengan mencoba mengkajinya dari dua macam bentuk pertanyaan penelitian: Pertama, mengapa suku Dayak Ngaju melaksanakan ritual Nyadiri?; Kedua, apa makna ritual Nyadiri bagi kehidupan suku Dayak Ngaju? Dari hasil wawancara yang dilakukan, ternyata yang menjadi latar belakang suku Dayak Ngaju melasanakan ritual Nyadiri ialah, karena ada sistem kepercayaan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju, bahwa apabila orang mati yang tinggal di dunia orang mati yang sifatnya sementara, maka mereka itulah yang bisa menjumpai keluarganya dalam bentuk mimpi. Sehingga akibatnya bagi orang yang bermimpi atau yang dimimpikan orang tersebut akan menjadi sakit (layau hambarua). Maka untuk itulah, ritual Nyadiri itu dilaksanakan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju, dengan tujuan merestorasi kehidupan individu yang bermimpi atau yang dimimpikan seperti sediakala. Dari hasil analisa makna, ternyata ketika suku Dayak Ngaju melaksanakan ritual Nyadiri, paling tidak ada beberapa makna yang dapat ditemukan, diantaranya: Pertama, wujud dari yang sakral dan profan; Kedua, sebagai sebuah upaya menjaga keseimbangan kosmos. Dunia orang mati yang bersifat sementara (Bukit Pasahan Raung) dengan dunia manusia (Pantai Danum Kalunen); Ketiga, wujud dari kesadaran kolektif yang dimiliki oleh suku Dayak Ngaju. Oleh karena itu, dalam memberikan penilaian tentang suatu kebudayaan masyarakat, tentunya kita tidak dapat memberangkatkan dari konsep pemikiran kita sendiri. Seperti yang dilakukan oleh kaum agamawan. Akan tetapi, langkah yang lebih objektif ialah dengan melakukan penelitian terhadap suatu kebudayaan itu sendiri.

Kebudayaan Suku Dayak

Suku Dayak
Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai dan Paser Menurut sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.

Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:

“Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
“Dayak Darat” (13 bahasa)
“Borneo Utara” (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
“Sulawesi Selatan” dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
“Melayik” dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Kutai, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
Istilah “Dayak” paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.  Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu Daya’, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.

Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini “Sunda”), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736. Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.

Pembagian sub-sub etnis

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri. Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
·         penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
·         penguburan di dalam peti batu (dolmen)
·         penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
·         wadah (peti) mayat–> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
·         wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
·         lubekng (tempat lungun)
·         garai (tempat lungun, selokng)
·         gur (lungun)
·         tempelaaq dan kererekng

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
·         penguburan tahap pertama (primer)
·         penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer
·         Parepm Api (Dayak Benuaq)
·         Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
·         dikubur dalam tanah
·         diletakkan di pohon besar
·         dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
·         Marabia
·         Mambatur (Dayak Maanyan)

·         Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)

Kekuatan ilmu Suku Dayak

Suku Dayak
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6IkoKPXN0Daiwt5KSlpV2dNIzNnSRKj7ayPJrx6dTkdkUmGgRDdtIIl1bddFNb8BEEAuw978139H8iqSxt_0NyYxvUrIhpEscLw8hGBP-6AM47gf4biQMPVUK_6AR398kgHo61xBYIIek/s320/borneo.jpg


Suku Dayak terkenal dengan ilmu mistis yang cukup kuat. Mistis tersebut sudah menjadi salah satu kekuatan mereka, hal tersebut bisa terdapat pada alat-alat peperangan seperti penyang, mandau, lunju dan sipet. Bahkan untuk memikat lawan jenis mereka bisa menggunakan ilmu mistis, dan pemuka adat suku inilah yang dipercaya mumpuni untuk melakukan hal tersebut.
Sebagai salah satu kekayaan Nusantara, memang dunia supranatural seperti ini tidak dapat dipandang sebelah mata, mungkin kita sering mendengar istilah mandau terbang, minyak buluh perindu dan kemampuan tokoh-tokoh dayak dalam mengisi kekebalan seseorang.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
·         Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
·         Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
·         Mangkok merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapuyang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe,damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.
SENI TARI DAYAK
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musikSerumpai (sejenis seruling bambu).a kita memanfaatkan dan mengelolanya.
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
Senjata Sukubangsa Dayak
  1. Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
  2. Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
  3. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
  4. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
  5. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
  1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
  2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
  3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
  4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
  5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
  6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
  7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
  8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
  9. Daun sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
  10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.
BERBURU ALA SUKU DAYAK
Suku Dayak yang hidup merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang. Salah satunya yang saya temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke Kalimantan Timur, tepatnya di desa Long Loreh Kabupaten Tarakan.
Untuk berburu mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?
Caranya tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? “Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh dari seorang pemburu disana.
Bagaimana dengan binatang lainnya? Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian alasan mereka.
Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.
Alat berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau bahkan mematikan.
Selama berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.

Tuesday, October 29, 2013

Budaya Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu kotanya adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa. (hasil sensus penduduk 2010)

BAHASA 

Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Tengah, bahasa daerah (lokal) terdapat pada 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang meliputi 9 bahasa dominan dan 13 bahasa minoritas, yaitu:

  • Bahasa dominan :

  1. Bahasa Melayu
  2. Bahasa Banjar
  3. Bahasa Ngaju
  4. Bahasa Manyan
  5. Bahasa Ot Danum
  6. Bahasa Katingan
  7. Bahasa Bakumpai
  8. Bahasa Tamuan
  9. Bahasa Sampit

  • Bahasa kelompok minoritas :

  1. Bahasa Mentaya
  2. Bahasa Pembuang
  3. Bahasa Dusun Kalahien
  4. Bahasa Balai
  5. Bahasa Bulik
  6. Bahasa Mendawai
  7. Bahasa Dusun Bayan
  8. Bahasa Dusun Tawoyan
  9. Bahasa Dusun Lawangan
  10. Bahasa Dayak Barean
  11. Bahasa Dayak Bara Injey
  12. Bahasa Kadoreh
  13. Bahasa Waringin
  14. Bahasa Kuhin (bahasa daerah pedalaman Seruyan Hulu)

Seni Musik


Arsitektur Rumah Betang di Tumbang Anoi merupakan rumah panjang hunian komunal masyarakat suku Dayak Ot Danum di perhuluansungai Kahayan.

Arsitektur Rumah Baanjung tipe Rumah Balai Bini di Kumai, yang merupakan hunian keluarga inti dalam rumah sendiri-sendiri pada masyarakat pesisir Kalimantan Tengah.Seni musik yang dikenal di daerah ini antara lain:
Chordophone

  • Kacapi
  • Rebab

Idiophone

  • Berbagai jenis Gong
  • Kangkanung

Membranophone

  • Berbagai jenis Kendang (Gandang)
  • Katambung

Seni Vokal

Seni vokal yang populer di wilayah ini adalah:

  • Karungut
  • Kandan
  • Mansana
  • Kalalai Lalai
  • Ngendau
  • Natum
  • Dodoi
  • Marung

Tarian

Jenis-jenis tarian yang terdapat di daerah ini antara lain:


  • Tari Hugo dan Huda
  • Tari Putri Malawen
  • Tari Tuntung Tulus dari Barito Timur
  • Tari Giring-giring
  • Manasai
  • Tari Balian Bawo
  • Tari Balian Dadas
  • Manganjan

Seni Kriya

Seni kriya yang berkembang di wilayah ini adalah:


  • Seni Pahat patung Sapundu
  • Seni lukis
  • Tatto
  • Anyaman
  • Seni dari bahan Getah Nyatu

Seni bela diri

1. Kuntau


Upacara Adat

  • Wadian
  • Upacara Tiwah (upacara memindahkan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
  • Wara (upacara pemindahan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)
  • Balian (upacara atau prosesi pengobatan)
  • Potong Pantan (upacara peresmian atau penyambutan tamu kehormatan)
  • Mapalas (upacara membuang sial atau membersihkan diri dari malapetaka)
  • Ijambe (upacara pemindahan tulang belulang keluarga yang telah meninggal)

Pakaian Pengantin


  • Busana Pengantin Dayak
Busana pengantin pria Dayak Kalimantan Tengah memakai celana panjang sampai lutut, selempit perak atau tali pinggang dan tutup kepala. Perhiasan yang dipakai adalah inuk atau kalung panjang, cekoang atau kalung pendek dan kalung yang terbuat dari gigi binatang. Pengantin wanita memakai kain berupa rok pendek, rompi, ikat kepala dengan hiasan bulu enggang gading, kalung dan subang.

  • Busana Pengantin Kotawaringin

Busana Adat Banjar-Kotawaringin keraton Kesultanan Kotawaringin, salah satu sukubangsa di Kalimantan Tengah.
Busana pengantin Kotawaringin mirip dengan Busana Pengantin Banjar, namun terdapat beberapa perbedaan.










dikutip dari wikipedia dan beberapa sumber lainnya.