Monday, December 9, 2013

Tiwah

Upacara ini merupakan upacara penghantar kerangka jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir. tradisi ini hanya dilakukan oleh suku dayak yang ada di Kalimantan Tengah.Upacara Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.
Upacara adat Tiwah sering dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya dilakukan oleh warga Dayak Kalteng. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak.
Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.
Upacara adat Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, upacara Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.
Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, upacara Tiwah juga bertujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian upacara prosesi tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari nonstop, bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya.
Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak.
Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.
Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.
Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.
Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian prosesi tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari nonstop, bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya.
Upacara tiwah yang digelar keluarga Ari Dewar, anggota DPRD Kotawaringin (Kotim) ini, misalnya. Mereka menyelenggarakan hingga 30 hari lamanya dan mengeluarkan biaya mencapai hampir satu miliar. Tiwah dilaksanakan untuk almarhum ayahandanya Dewar I A Bajik yang meninggal sekitar 12 tahun silam, sang paman Simon Mantir, serta 21 orang jenazah kerabat mereka yang diikutsertakan dalam upacara yang saat ini masih berjalan.
 “Saya dan saudara saya Alfian O Dampa yang menanggung seluruh biaya tiwah ini, sebab tidak semua orang Kaharingan mampu melaksanakan tiwah. Tiwah ini sifatnya wajib dilaksanakan, sebab sebelum orang yang meninggal dunia ditiwah, maka ia belum bisa masuk ke dalam surga. Ini kepercayaan penganut Agama Kaharingan,” terang Ari Dewar.
Tiwah yang diselenggarakan keluarga Ari Dewar di tempat kelahirannya di Desa Rubung Buyung, Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotim ini sudah berlangsung sejak minggu kedua Bulan November lalu. Puncaknya pada tanggal 11 Desember 2010 mendatang.
Menurut dia, keluarga yang masih hidup adalah orang yang bertanggung jawab dan berkewajiban mengadakan upacara tiwah. Ritual ini juga sebagai bukti kecintaan mereka terhadap leluhur.
“Siapa lagi yang akan menghantarkan leluhur agar bisa masuk surga kalau bukan keluarga yang masih hidup. Ini menurut ajaran Agama Kaharingan yang dianut almarhum orangtua saya,” kata Ari Dewar yang saat ini sebenarnya tidak lagi menganut kepercayaan Kaharingan, agama leluhurnya.
Dia mengaku telah berkonsultasi dengan para guru agama seperti ustaz dan kiai di Banjarmasin. Setelah diizinkan barulah berani menggelar upacara adat tiwah. Ini bentuk penghormatan terhadap leluhur, termasuk ayahnya. Sebab, tiwah merupakan upacara adat asli suku Dayak, sukunya sejak lahir.
“Ritual ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, jadi perlu dilestarikan. Mengangkat kerangka orang yang sudah meninggal kemudian menaruhnya di dalam sandung atau rumah kecil dengan tidak menyentuh tanah,” jelas Ari Dewar.
Osoh T Agan, pisor atau pemimpin ritual tiwah menjelaskan, ritual tiwah merupakan rukun kematian tingkat terakhir yang waktu pelaksanaannya tidak ditentukan. Bisa dilaksanakan kapan saja sesuai kesiapan keluarga yang ditinggalkan.
Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah.
“Bisa juga dikatakan Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci manusia tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam itulah orang yang meninggal dunia menunggu sebelum diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah,” terang pemuka Agama Kaharingan dari Kota Palangka Raya ini.
Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau, sapi, dan babi.



Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.

Perantara dalam upacara ini ialah :
Rawing Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai Raja Malawung Bulau, yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu oleh Telun dan Hamparung, dengan melalui bermacam-macam rintangan.

Kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun mengantarkan liau ke Lewu Liau ialah Banama Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun. Perjalanan jauh menuju Lewu Liau meli\ewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai, gunung-gunung, tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila pelaksanaan tidak sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka tersesat. Pelaksana di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian. Untuk lebih memahami uraian selanjutnya, beberapa istilah perlu diketahui :

Pengertian yang Perlu Dipahami
1. Jiwa atau Roh.
a. Jiwa/roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau Semenget.
b. Jiwa/roh orang yang telah meninggal dunia disebut Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Hatalla.

Prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa tanpa diantar ke lewu liau dengan sarana upacara Tiwah, tak akan mungkin arwah mencapai lewu liau. Bila dana belum mencukupi, ada kematian, pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda menunggu terkumpulnya dana dan bertambahnya jumlah keluarga yang akan bergabung untuk bersama melaksanakan upacara sakral tersebut.

Upacara besar yang berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun karena adanya sifat gotong royong yang telah mendarah daging, maka segala kesulitan dapat diatasi. Tumbuh suburnya prinsip saling mendukung dalam kebersamaan menumbuhkan sifat kepedulian yang sangat mendalam sehingga kewajiban melaksanakan upacara Tiwah bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan didukung dan dilaksanakan bersama oleh mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan.

c. Salumpuk Bereng yaitu raga manusia yang telah terpisah dari jiwa karena terjadinya proses kematian. Setelah mengalami kematian, salumpuk bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan upacara Tiwah, salumpuk bereng dikuburkan terlebih dahulu.

d. Pengertian dosa
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau akibat perbuatan semasa hidupnya :
1). Merampas, mengambil isteri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang harus dijalani oleh Salumpuk liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di Tasik Layang Jalajan. Untuk selamanya mereka akan menjadi penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula Salumpuk liau harus mengangkat barang-barang yang telah dicuri atau dirampok ketika hidup di dunia. Barang-barang curian tersebut akan selalu dijunjung sampai pemilik barang yang barangnya dicuri meninggal dunia.

2). Ketidakadilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang berwewenang memutuskannya, yaitu para kepala kampung, kepala suku dan kepala adat. Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan untuk selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.

3). Tindakan tidak adil atau menerima suap atau uang “Sorok“ bagi mereka yang bertugas mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia). Mereka akan dimasukkan ke dalam goa-goa kecil yang terkunci untuk selamanya.

2. Jenis dan Nama Peti Mati :
a. Runi yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian tengahnya dibuat berongga/diberi lubang dan ukuran lubang tengah disesuaikan dengan ukuran salumpuk bereng yang akan diletakkan di situ.
b. Raung yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada umumnya, ada tutup peti pada bagian atas.
c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi empat panjang, dengan tutup dibagian atas.
d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.
e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan empat tiang.
f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.
g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh. Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun akan memberikan balasan kepada si pembunuh.
i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.
j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan Tambak.
k. Jiwab, bentuknya menyerupai sandung namun tanpa tiang.
l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.
m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.
n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar sandung.
o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.
q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.
r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.

Upacara Tiwah adalah upacara sakral terbesar yang beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan persiapan segala sesuatunya harus dilakukan dengan benar-benar cermat, karena kalau terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban berat, diantaranya :

1). Pali akan pambelum itah harian.
2). Tau pamparesen itah limbah gawie toh.
3). Indu kakicas, pambelum itah harian andau.

Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia hewan korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah lalu persyaratan yang tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala manusia. Makna persembahan kepala manusia ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli waris kepada salumpuk liau yang siap diantar ke Lewu Liau. Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila salumpuk liau telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka sejumlah kepala yang dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah dipersembahkan dalam upacara sakral tersebut, secara otomatis Salumpuk liau-nya akan masuk Lewu Liau tanpa harus di-tiwah-kan walau keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun di masa kini hal tersebut telah tidak berlaku lagi. Kepala manusia digantikan oleh kepala kerbau atau kepala sapi.

Pelaksana upacara sakral
1. Balian
Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh kasat mata jasmani manusia. Balian menyampaikan permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla dengan perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi manusia.

Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras, mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Adapun tanda-tanda yang mungkin dapat dijadikan pedoman kemungkinannya seorang anak kelak dikemudian hari bila telah dewasa menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir bungkus yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena proses kelahiran, namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada umumnya, ia pun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi lingkungannya.

2. Basir.
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Di masa silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki kemampuan lebih, dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.

3. Telun atau Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan. Telun bertugas hanya akan hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat. Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.

4. Mahanteran

Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia dengan Rawing Tempun Telun. Biasanya seorang Mahanteran atau Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang duhung dan batanggui sampule dare

sumber ; vorum viva dan rendy85

Tentang upacara tiwah suku dayak

Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah

Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu , yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan Upacara Tiwah , sehingga siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin bergabung terlebih dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah salumpuk liau yang akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau, barulah ditentukan dengan pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi “Bakas Tiwah” .

Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain menyangkut jumlah kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah menyatakan diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah konsumsi, hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama memutuskan siapa pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau Balian.

Di samping ditawarkan kebutuhan-kebutuhan upacara Tiwah sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga salumpuk liau, masih ada beberapa persyaratan yang wajib harus disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk liau. Upacara diadakan di rumah Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan ditentukan musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah Bakas Tiwah.

Hari pertama :
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda buat barang-barang yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.

Hari kedua :
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang masing-masing salumpuk liau. Setelah itu seekor babi dibunuh diambil darahnya untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di sekitar Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau.

Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti gandang, garantung, kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan. Namun terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dipalas atau disaki dengan darah binatang yang telah ditentukan.

Pada hari itu pula seorang Penawur mulai melaksanakan tugasnya menawur untuk menghubungi salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohon izin kepada para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep. Juga pemberitahuan diberikan kepada Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan, Patendu, Jakarang Matanandau.

Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau Lawung Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat dohong Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-laki atau perempuan, tua, muda, berdiri mengelilingi sangkaraya, dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan menghormati para Sangiang yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan Salumpuk liau menuju Lewu Liau.

Hari ketiga:
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.

Kemudian darah tersebut digunakan untuk menyaki dan memalas semua orang yang berada dalam kampung tersebut, juga memalas batu-batuan, pangantuhu, minyak sangkalemu, minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang, karuhei, tatau serta semua peralatan yang digunakan dalam upacara Tiwah itu. Di samping untuk memalas, darah binatang korban tadi juga dicampur beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras yang telah dicampur darah Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit dan gangguan, panjang umur dan banyak rezeki.

Hari ke empat
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut hadir serta aktif berperan serta dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Salumpuk liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.

Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera yang maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke kampung tersebut bahwa dalam kampung tersebut sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta Tiwah, antara lain belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki di kampung itu. Tidak mentaati aturan, resiko tanggung sendiri. kemungkinan ditangkap, pada hari itu pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong kepalanya sebagai pelengkap upacara Tiwah.

Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil manangking Dohong Nucung Dandang Tingang. Pertama-tama penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal dunia untuk memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut akan diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Sangiang, Jata, untuk memohon perlindungan bagi semua sanak keluarga salumpuk liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang hadir dalam upacara tersebut agar dijauhkan dari sakit penyakit serta jauh dari kesusahan selama terlaksananya upacara Tiwah tersebut.

Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe dan jin-jin agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi kematian mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tumbang Lawang Langit dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan datangnya musuh yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral tersebut. Setelah itu burung elang datang dan terbang melayang-layang di diatas tempat upacara Tiwah berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.

Kemudian pada bangunan Balai Pangun Jandau diletakkan sebuah gong yang berisi beras kuning, rokok, sirih, maksudnya sebagai parapah bagi tamu-tamu dan para ahli waris Salumpuk liau yang sedang di-tiwah-kan juga diikat Sulau Garanuhing.

Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu “Raja Pali“ Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk menghindari kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.

Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang diikat sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan kampung dimana upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan perkampungan lain yang tidak sedang mengadakan upacara Tiwah. Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk liau. Batas waktu pelaksanaan hukum pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.

Adapun larangan-larangan itu adalah sebagai berikut :
1. Pali makan rusa – dilarang makan rusa.
2. Pali makan kijang.
3. Pali makan kancil/pelanduk
4. Pali makan kelep dan kura-kura.
5. Pali makan kera.
6. Pali makan Beruk
7. Pali makan Buhis
8. Pali makan Kalawet
9. Pali makan Burung Tingang /Burung Enggang.
10. Pali makan Burung Tanjaku.
11. Pali makan Ahom.
12. Pali makan Mahar.
13. Pali makan Ular.
14. Pali makan Tahatung.
15. Pali makan Angkes.
16. Pali makan buah rimbang.
17. Pali makan daun keladi.
18. Pali makan ujau.
19. Pali makan dawen bajai- daun bajai.

Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah Jipen ije dan kewajiban potong babi, darah babi digunakan untuk menyaki mereka yang berkelahi.

Hari keempat :
Kanjan diawali oleh empat orang.

Hari kelima :
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.

Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau atau sapi diikat di sapundu dan mereka yang hadir mengelilingi sapundu tersebut, menganjan tanpa henti baik siang maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan salumpuk bereng mulai dibuat, yang setelah siap terlebih dulu dipalas dengan darah kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu lalang di kampung tersebut terkena pali dan wajib menyerahkan sesuatu miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya. Kemudian Talin Pali diputuskan.

Sebuah Tajau atau belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan. Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga menyediakan binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabung menganjan mengelilingi hewan-hewan yang akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk liau yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi lagi, bambu dan daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di dalam bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.

Puncak Upacara

Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang hadir untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian didudukkan diatas Katil Garing dan siap memegang sambang/ ketambung . Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang, serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian yang artinya buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin terjadi selama prosesi sakral berlangsung.

Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla dengan perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang melaksanakan upacara Tiwah ialah sifat ksatria, memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat upacara Tiwah dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, tidak begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji keberaniannya.

Begitu rombongan tamu turun dari lanting rakit yang ditumpangi, mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi pinggang dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa.

Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut bahkan tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di depan mata mereka. Bila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah para ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah, baru kemudian mereka dipersilahkan bergabung.

Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari melepaskan segala kesialan kawe rutas matei, pada hari ketujuh inilah salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang hadir telah menganjan siang malam tanpa henti.

Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada aturannya.

Cara pertama :
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang korban yang telah ditombaknya.

Cara kedua :
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang yang ditombaknya.

Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak, kambe, burung bahotok, burung papau, burung Antang.

Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada salumpuk liau yang sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja Untung dan para Sangiang. Lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada Bulan, Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan kembali masyarakat yang hadir berkumpul.

Tibalah saatnya salumpuk bereng digali/diambil dari tempat penyimpanan sementara. Tulang belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan pada hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau pambak atau sandung . Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar. Upacara dianggap selesai apabila seluruh prosesi upacara telah dilaksanakan lengkap, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena telah berhasil melaksanakan tugas dan kewajibanya kepada orang-orang yang dicintai. Salumpuk liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu Lewu Liau.

Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah hadir bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan yang ingin mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada Hatalla.

Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi upacara demi mengantarkan salumpuk liau ke lewu liau, tanda mata diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara akan pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang telah turut hadir dalam upacara Tiwah berbondong-bondong mengantarkan mereka sampai ketempat yang dituju.

Balian Balaku Untung
Merupakan salah satu upacara adat yang bertujuan meminta umur panjang, banyak rezeki serta mendapat berkat dari Ranying Hatalla. Permohonan kepada Hatalla tersebut mereka lakukan dengan perantaraan Rawing Tempun Telun yang dalam upacara Balian Balaku Untung disebut Mantir Mama Luhing Bungai.
Dalam upacara ini persyaratan yang lazim disediakan ialah bawui buku baputi atau babi kerdil yang berwarna putih. Namun boleh juga kerbau atau sapi. Setelah segala macam persyaratan dan sesajen disiapkan, upacara segera dimulai. Diawali dengan seorang penawur, yang dengan sarana beras, menabur-naburkan beras ke segala arah. Dengan perantaraan seorang penawur, mereka memohon kepada roh beras yang ditawurkannya untuk menyampaikan kepada Mantir Mama Luhing Bungai agar bersedia turun ke bumi untuk menyampaikan persembahan mereka kepada Penguasa Alam.
Tidak lupa dengan perantaraan penawur pula mereka memohon izin kepada salumpuk liau atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia bahwa di bumi sedang diadakan upacara Balian Balaku Untung. Juga disebutkan alasan upacara tersebut mereka adakan. Adapun alasannya karena sebagai manusia yang masih harus melanjutkan hidupnya di Pantai Danum Kalunen, mereka masih membutuhkan rezeki dan umur panjang.
Setelah roh beras yang ditawurkan naik menuju ke tempat Mantir Mama Luhing Bungai di Batang Danum Jalayan di langit ketiga yaitu di negeri Batu Nindan Tarung, pesan dan tujuan dilaksanakannya upacara adat tersebut disampaikan. Setelah dipahami maksud dan tujuannya, kemudian beberapa Sangiang mengambil alih tugas tersebut. Sangiang-sangiang itulah yang nantinya menjadi perantara manusia menuju Tahta Ranying Hatalla.
Para Sangiang yang sering kali terlibat dalam melaksanakan tugas tersebut, antara lain:
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
Sangiang-Sangiang yang bersedia menjadi perantara tersebut akan langsung turun ke bumi dan memasuki rumah tempat upacara dilaksanakan. Mereka tidak lama berada di rumah tersebut karena harus segera mengantarkan korban persembahan serta permohonan manusia ke hadirat Penguasa Alam. Mereka naik ke atas menuju langit ketujuh dengan melalui empat puluh lapisan embun.
Setelah melewati empat puluh lapisan embun, barulah mereka mencapai langit pertama, lalu langit kedua dan seterusnya. Setiap langit ada penjaga pintu gerbang, dan setiap penjaga gerbang berhak pula menerima sesajen yang khusus telah disiapkan bagi mereka. Apabila sesajen diterima dengan baik, lalu mereka menukar sesajen tersebut dengan Bulau Untung Panjang . Lalu mengutus salah seorang dari penjaga pintu gerbang setiap lapisan langit bergabung dalam rombongan untuk turut serta mengantarkan Bulau Untung Panjang menuju Tahta Ranying Hatalla.
Dengan demikian setiap melewati lapisan langit, jumlah rombongan menjadi semakin besar karena dari setiap langit yang dilalui, seorang sangiang akan turut serta. Dengan demikian setelah mencapai langit keenam, jumlah rombongan sangiang yang dipimpin oleh Rawing Tempun Telon atau Mantir Mama Luhing Bungai telah bertambah enam orang. Menjelang pintu ke tujuh, Raja Anging Langit telah menunggu di depan pintu gerbang langit ke tujuh untuk mengucapkan salam. Bersama Raja Anging Langit, turut serta Indu Sangumang yang nantinya akan bertugas mengetuk Pintu Tahta Kerajaan Ranying Hatalla.
Setelah memasuki pintu langit ketujuh, lalu ke Tasik Malambung Bulau, Tumbang Batang Danum Kamandih Sambang, Gohong Rintuh Kamanjang Lohing tempat tinggal Tamanang Handut Nyahu dan Kereng Tatambat Kilat Baru Tumbang Danum Nyarangkukui Nyahu Gohong Nyarabendu Kilat, tempat Raja Sapaitung Andau. Baru kemudian menuju Bukit Bulau Nalambang Kintan Tumbang Danum Banyahu.
Setelah itu menuju Bukit Tunjung Nyahu Harende Kereng Sariangkat Kilat. Disinilah Banama Tingang , kendaraan berbentuk perahu yang mereka tumpangi berhenti. Hanya tiga dari rombongan Sangiang tersebut yang melanjutkan perjalanannya menuju Tahta Ranying Hatalla.
Mereka adalah :
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
Anggota rombongan lainnya hanya sampai di tempat tersebut dan harus bersabar menantikan ketiga temannya melanjutkan perjalanan menuju Tahta Ranying Hatalla. Sambil membawa Bulau Gantung Panjang atau Batun Bulau Untung yang telah diserahkan oleh para penjaga lapisan langit, ketiganya menuju ke tempat Raja Sagagaling Langit di Bukit Bagantung Langit, untuk membersihkan Bulau Batu Untung yang mereka bawa tersebut.
Dari tempat itu mereka pergi lagi menuju Bukit Garinda Hintan tempat Angui Bungai Tempulengai Tingang, lauk Angin Manjala Buking Tapang untuk mangarinda Bulau Batu Untung. Setelah itu dengan menumpang Lasang Nyahu, yaitu sejenis perahu yang melaju cepat, mereka menuju Bukit Hintan Bagantung Langit tempat kediaman Raja Mintir Langit. Di sana mereka membuka gedung tujuh tempat Putir Sinta Kameluh ( . . . tidak terbaca, ns).
Lalu Indu Sangumang mengetuk pintu, kemudian masuk dan menghadap Singgasana Ranying Hatalla. Indu Sangumang memohon berkat bagi Bulau Batu Untung (. . . tidak terbaca, ns.) setelah berkat diberikan mereka kembali menuju arah Bukit Tunjung Nyahu, dan di tempat tersebut telah menunggu 40 Mantir Untung yang langsung meletakkan Bulau Batu Untung pada kendarah cinta kasih yang tak dapat direnggangkan oleh kekuatan apapun jua. Dengan demikian proses tugas para Sangiang telah selesai dan mereka kembali ke dunia dengan melalui tujuh lapisan langit, empat puluh lapisan embun, langsung menuju rumah di mana upacara sedang berlangsung.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada perantara dalam hal ini balian, maka para Sangiang pamit untuk kembali ke tempat mereka masing-masing, namun terlebih dahulu mereka menyantap sesajen yang telah disediakan khusus bagi mereka pada sebuah kamar.
Untuk pengecekan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak dengan cara sebagai berikut:
Sebelum upacara dimulai, disediakan rotan yang panjangnya tujuh depa dan beras tujuh sukat. Panjang rotan benar-benar telah diukur oleh tukang tawur atau balian, panjangnya tujuh depa dengan disaksikan oleh banyak orang. Begitu pula beras sebanyak tujuh sukat. Setelah upacara selesai, diadakan pengecekan ulang. Apabila ukuran rotan menjadi lebih panjang yaitu lebih dari tujuh depa seperti hasil pengukuran semula, begitu juga jumlah beras lebih dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka diterima dengan baik. Permohonan telah dikabulkan. Akan tetapi apabila setelah diukur kembali panjang rotan kurang dari tujuh depa, begitu pula jumlah beras kurang dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka ditolak.

Manawur Tamparan Munduk Balian Hapan Tiwah
(Bahasa Dayak Ngaju)

Bara solak tamparan munduk balian, palus mimbing behaas ietuh : Ehem behas, harenjet ganan, hai ganan, belum nantuguh labatang entang bulau, datuh labate habaring jari hampit riwut manyan Raja. Nyimak saturi malayu, Hapan juyang bangkang halelan tingang, runting tajahan burung nampasut, kilau nampasut tingang ije kadadang, nampuras tingkah nampuras bungai ije kapating, malugaku bitim kilau banama nyandang liara nampilaku balitam, netek ajung hatalumbang jadri hampalua uluh pantai danum kalunen bara balanai bintan penyang, nampahanjung luwuk kampungan bunu, bara busi renteng bapampang pulu, ie babalai sansiri koenjat antang, basali mangkuk sarangiring laut.
Kuntep kamaras, ban penu kaningagang sara dia jaka teburan garing tabela belum, dia jaka penankekei, bara usuk lisum pananjuri bara wain tapan, Terai nduan tambekan etuh ijamku enteng nasihku hanyim, nyahungku indum luang reawei, panati danum kalunen, akan jamban payaruhan tisue luwuk kampungan bunu, nyahuangku bitim, antang manamuei manajah riak renteng tingang, raja tabela basandar ranjang.
Nyangkabila balitan kenyui mangaja, mantilung kanaruhan ringgit, kangatil garantung, Katabelan oleh balai mihing nyapundu runjan anak Sali nyalung marusuk hintan, nyahuan ie tingang hadurat lunuk, akan pantai danum kalunen, nyangkabilae tambun nyalentur labehu, akan luwuk kampungan bunu, ije puna hampang jawah hempeng, palumpang langit busun kenyui juhai hanyi, panasiran Hawun. Ije mapan batu jadi randung banama namburak karangan jari talin pambuhui riwut hanya mananteng hanyin, burung lingu kanyumping linga, ason tandang panangkului enteng uluh lewu danum jalajan, uluh rindang labehu pali tuntang kare bulau pangajin sambang batu bangkalan banama. Balu indu iring pinang, uluh lewu danum jalayan, hayak manenteng hanyin katabelan uluh balai ltuyang katabelan uluh balai suling bulau, katabelan uluh balai entas,katabelan uluh balai nyaho, telu puluh ruang tuntang katabelan uluh balai Palangka nambulang tambun, anak salibayung antang, mahutu Penyang, uras nyahuan usang, hadurut lunuk hayak mandurut papan talawang mahapan tantang burung dahiang, malentui gentui daren lintung, hapaharis rayung baya tandak, lapik banama antng manamuei tapeting ayung, kenyui mangja.
Ie jari bitim behas, jadi barakandung peteh, pantai danum kalunen, entan bulau, batiang janjin, luwuk kampungan bunu, jadi peteh manyiret. Kilau lanting darai janji manalan. Mampahulang naharantung nyalung, te kareh tandakm panjang, halawu bumbung dawen purun, karungutm ambu harenda pandung, bulau tambun , jadi sukup tuntur, kilau bulan bele manyinai nenteng sukup palakue tingkah pahawang nangkunyahe tatau. Kilat baputi dia kanatah hintan, hijir bahenda dia nanggalung bulan, tawurku belum baun pingan rungan etan bulau bahanjung mangkuk saramurung laut, bahing jarambang, nipas marung garing gantungan, pusuk rawung bambau ukei, hayak enum bandadang, te palus manjakah behas tuh auch :
Ije, due, telu, epat, lime, jahawen, uju ije kalabien ketun sintung uju due kalambungan ketun lambung hanya, te palus manekap katambung, nampara nampulilang liau.
Toh ie auch :
Liiiiii liala – liaang liau matei randang are mananjung ambun. Saran kuwu bajumbang nihau nambahui rahu nawan bulan, palus teneng tendur gandang nyaring menteng randah are babalai bungking lunuk, rintuh rinau, tuwung siakung tatau, basali tanduh babulung bulau, mikeh are bunu baletuk ngandang andau panurean dare, talawang, batesei manturana pakaluyang bulau, are timpung jari tampahar harus laut, unduk ampah tanjung ambun buang, bulau balemu mantap kasalananggalung petak sintel manajung halentur liau, mahapan pahulanger bulan, tiling petak jajulana kahem pahulanger bulan nyaluluk. Te palus teneng gandang tambun jete, hapamuntung luang kalang labehu handalem rintuh rinau tuwung ihing . . . Hatalla baparung rangkang huang danum, sama manetep tuwung tambun rayung tatau, manipas ulek lawin lanting raja. Mangat sama ela balisang panjang ije gawang tingang rata ela balakas ambu, dinun due kasambutin antang awang matei hila ngaju, nasat kabangkang nayu-nayu, hasapau dawen birun bukit, hatingkap pusuk rahing tarung, awang matei junjun helu, nihau tutuk panambalun tambun, jadi nyahuangku buli batang danum katimbungan nyahu, gohong santik malelak bulau, tanjung rahu ngalingkang bulan halaliangku buli sandung garing, kamalesan karatu lumpung matanandau, bahalap nyapau pisih rarindap langit kamalipir burung piak liau, hakalusang patung.
Nyamping bulan lembut nyarahan andau pandang, pandang kaninding saramin sina rarajak saruk suling ringun tingang, kalalambang tambun, mateiu lunjang lenjut. Kanalantai lamiang kanungket bajihi tambun, bajihi bulau tarahan tawe-tawe manyamei halampat nyahu nangkuang burung piak liau hatarusan pantung baya tau mansanam kaban lumpat lawang langit ie gagahan Telun mama Tambun bunu kandayu lanting jahawen, kanyaki liau Randin tandang, meto rama batanduk garing, bahalap bajela rohong bakadandang uru jejerupan perun tambun.
Awang matei ,nambit mambahete halaiyangku buli bukit pasahang braung, kamalesang kereng rohanjang tulang, buli pampang raung, kamelasang kereng buli hatelangkup rabia, kanarah hanjaliwan matei lunjang lenjut, kanahintip talampe, tapalumpang limpet.
Bahalap nyaluang, uei ringka, pakur layang antang, nambaji garing handue uju hansasulang, kabantikan asai menteng ije tawae, jalan liau matei nabasan dohong, nakaje andau bunu nalanjat pandange , sama netep garing kapandukae munduk jiret sihung kabahena, kabahena bajanda, ela naharantung bahing pantung sambang, ela nyampilek bambi hengan lohing belum tumbang kapanjungan panjung, haring saluhan antang nahuei, bakulas aku muta tingang, parakanan renteng bantus manela bungai hajanjala tundu-tundu balaku badandang lantaran tanjung Ambun, jalangku manjurung tawur namuei langit balalu batehan laberuh luwuk enon, sandung danun dua kapamarau langit, tanduhangku mangkat entan bulan mangaja lambang bulau bara gantung totok timung tandak, liau matei sambile mangantau sambung santin karunya bapilu nihau ulang bajambilei, hindai aku mungkang tandakm, tawur ije halawu bumbung daren purun hindai menjung karungut etan bulau harende pandung, balau tambun –te palus malik tinai tekap sambang, te toh iye auch :
Manturan behas te iyoh-iyoh bitim tawur ela tarewen matei halawu bumbung daren purun, ela sabanen ajung hatilalian hariran etan bulan, harende pandunge balau tambun, basa tawangku panamparan belum, bara hemben horan.
Patiana pamalempang bara zaman totok panambalon tambun puna bitim behaas pantis kambang kabanteran bulau balitam etam bulau tahutun lelak lumpung matanandau, pantis kambang garing manyangen, ie hajamban teras kayu engang tingang hatatean lohing kayu anduh nyahu ie halalawu bukit kagantung gandang harenda kereng nunyang, malangka langit. Palus nangkalume putir Selung Tamanang ewen ndue Raja Nangking langit, mijen timpung uju hatantilap pahangan hanya hatalamping, ie palus hajanjuri hanjak, nyahu mangaruntung langit, panatekei humba kilat malambai ambun kapamalem malentur balitam, totok tambalun tambun hayak enon haganggupa ie palus kaput biti alem, pain bukit tunjung nyahu lilap, hanggupa tanda puruk kereng sariangkat kilat halawu. Petak sintel hambalambang tambun, harenda riang dedet habangkalan garantung. Belum tandah hakaluwah nyakelang uru jajarupen purun tambun, haring lamabat hambalaun nyampali, kanarah lintung talawang, ie duam kauju andau, belum nahabulun urung, naring tingkah singan behau belum runja-runjat ampin bilis manyang mananjak, pangarawang baun tiwing panjang hari tapu-tapu tingkah sahempun pasang bara tumbang danum, ie palus mandawen handadue manumbung dinun hatantelu, palus karimahan soho manggandang bara jalayan bulu, danum nyamuk pasang bara tumbang danum. Kueh maku leteng kambang nyahun tarung, puna bitim hai kuasam belum, tampan jata bara huang danum, enon suka nilap batu kilat tinting balitam datuh jema hamaring, puna selung Hatalla bara lawang labehu langit, ie umbet kanumpuh bujang, sedang handiwung kesampelau belum, te palus hatarung pulu ngalingkang pulau, luntur bahandang batinting lima balas.
Akan batang danum ngabuhi bulau burung tumpah bua nyembang hatuen burung kajajirak laut, palus mandung bitim marantep kilau hendan bulau, nangkuyang bilatamu nahajib tingkah lanting rabia, te bukum jadi handiwung pakandung pusue, sawang bapangku anak, pandung malelak bulau, ie umbet bula katugalam belum sadang bintang patendum hamaring.
Ie rawei banama baongkar puat, ajung jawu dagange handiwung banbaukei pusu pundung malelak bulau, bauhat rentai nyangkabilan bawak nambuku tisim, galigir bintang, nambatang suling, ringun tingang, mandawen simbel bulau bakatantan jari bulau jandau. Ie mangambang bulau, taparuyang rayuh, malelak hintan tapang rundang rundai babehat babatu pating, bateras nyalung Kaharingan belum. Baluhing gohong, paninting aseng, ie rawei awang hatue kamampan bunu nantaulah anju tanjuren teken.
Hababiyan karayan tantanjuk rangkan , bapa manambang bitim kilau manambang banana manungkah laut, manangkep balitam, ruwan manangkep ajung hatatean hareran.

Ie palus rawei masak manalajan pating ripu mangantien tundu palus nangkung nangkuluk gentu nanpung penyang. Nundun balitam tingkah nundum paturung, ie lentu-lentu oleh tingang tempun hemben horan naji-najing antang sangiang totok tambalun tambun palus nagaggre gangguranan arae, nasuwa sebutan bitim, ie parei, tangkenya mampan baun tiowong panjang parei karumis mampan jalan, parei tanjujik helang uhat


sumber bimbingan.org